Penulis: Agus Zaini
Co-Founder Cakra Manggilingan Institute
Calon Presiden Ganjar Pranowo sebagai sebuah fenomena politik, menarik untuk dikaji. Mantan Gubernur Jawa Tengah ini mengawali langkah politiknya di tingkat nasional melalui proses yang kontroversial. Pria berambut putih tersebut, sejak beberapa tahun lalu telah diorbitkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai figur yang perlahan tapi pasti sukses menjadi sosok Calon Presiden yang diperhitungkan.
Sinyal dukungan Presiden Jokowi ke Ganjar bahkan disampaikan secara terbuka dalam berbagai kesempatan. Jokowi berbicara tentang ciri-ciri fisik pemimpin yang memikirkan rakyat.
“Kalau wajahnya cling, bersih, tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati. Lihat juga rambutnya. Kalau rambutnya putih semua, ah ini mikir rakyat ini," ujarnya.
Dalam kacamata strategi politik, dukungan Jokowi ke Ganjar bukanlah tanpa risiko. Hal itu sempat memicu reaksi keras dari kalangan elite PDI Perjuangan. Karena, fokus internal partai sedang memaksimalkan figur Puan Maharani agar masuk dalam bursa Capres 2024.
Figur Puan diberi branding ‘Kepak Sayap Kebhinnekaan’ dan muncul di berbagai media sosialisasi yang bertebaran di seluruh pelosok negeri. Sayangnya, elektabilitas Puan tak kunjung terbang tinggi.
Di sisi lain, kehadiran sosok kader PDI Perjuangan bernama Ganjar Pranowo yang terus bergerak hingga mencapai tingkat popularitas dan elektabilitas tertinggi dibanding Capres lain, dipandang telah mengganggu fokus kerja politik PDI Perjuangan. Tidak sedikit elite PDI Perjuangan yang merespons keras kemunculan sosok Ganjar dalam bursa Capres.
Internal PDI Perjuangan kian memanas setelah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP PDI Perjuangan, Bambang ‘Pacul’ Wuryanto melontarkan istilah ‘celeng’ bagi kader PDI Perjuangan yang mendukung (mantan) Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam Pemilihan Presiden 2024.
“Adagium di PDI Perjuangan itu, yang di luar barisan bukan banteng. Itu namanya celeng. Jadi, apa pun alasan itu yang deklarasi, kalau di luar barisan ya celeng,” tandas Bambang Pacul, sebagaimana dikutip berbagai media pada 13 Oktober 2021.
Sementara waktu pun terus berjalan. Upaya politik PDI Perjuangan untuk mendongkrak elektabilitas Puan Maharani tidak membuahkan hasil maksimal. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, merasa perlu bertindak cepat agar tidak terlambat dalam mengantisipasi dinamika politik yang telah memasuki fase krusial.
Namun, meskipun dalam situasi yang kurang menguntungkan, bukan berarti lantas Megawati dapat menerima kehadiran figur Ganjar begitu saja, yang bahkan telah habis-habisan di-endorse oleh Jokowi dan para relawannya.
Uji Loyalitas
Mulai dari sinilah Megawati seperti berkeperluan untuk mengetahui kadar loyalitas dan kesetiaan seorang Ganjar, apakah ia akan tegak lurus dan loyal kepada Ketua Umum Partai atau lebih memilih setia kepada mentor politiknya, yaitu Jokowi yang hanya seorang petugas partai.
Sebelum ditetapkan sebagai Calon Presiden yang diusung secara resmi oleh PDI Perjuangan, Ganjar seakan hendak membuktikan loyalitasnya secara penuh kepada Megawati. Ia bermanuver sangat terburu-buru dan mengagetkan banyak pihak dengan menyuarakan penolakan kehadiran Tim Nasional Israel di ajang Piala Dunia U-20 yang semula akan digelar di Indonesia.
Akibatnya, Indonesia mendapatkan sanksi dari FIFA. Perhelatan akbar U-20 yang sudah dipersiapkan secara matang oleh Pemerintah, gagal digelar di Indonesia.
Pembuktian Ganjar pun berhasil. Ia terlihat berani ‘melawan’ Presiden Jokowi, sahabat sekaligus mentornya. Megawati memandang hal tersebut sebagai bukti kesetiaan dan loyalitas Ganjar kepadanya, Sang Ketua Umum PDI Perjuangan.
Ganjar sukses melewati fase uji loyalitas, meski harus berhadap-hadapan dengan mentornya, demi ambisi politik pribadi. Bagi Ganjar, mungkin Jokowi sekadar tangga kayu menuju puncak ambisinya. Ketika sampai di puncak, tangga kayu itu pun diempaskan, karena tidak lagi dibutuhkan.
Ganjar dan Brutus
Perkembangan politik yang begitu dinamis telah menjadikan Ganjar gelap mata. Cerita panjang perkawanan antara Ganjar dan Jokowi tinggal kisah masa lalu.
Potret perjalanan politik Ganjar mengingatkan kita pada kisah Marcus Junius Brutus yang tega menikam penguasa Republik Romawi, Julius Caesar, hingga tewas, pada tahun 44 SM.
Dalam konteks politik, Brutus sering kali diidentifikasi sebagai simbol pengkhianatan atau konspirasi terhadap penguasa atau pemimpin politik. Kata ‘Brutus’ sering digunakan untuk menggambarkan pengkhianatan dalam politik, terutama ketika seseorang yang dianggap sebagai teman atau sekutu tiba-tiba berbalik arah menjadi lawan politik.
Ganjar memang bukan Brutus. Mungkin terlalu jauh menyamakan Ganjar dengan Brutus. Tapi ketika kita mencoba mencermati proses politik hingga saat ini, seharusnya Ganjar bisa menjadi ‘jembatan emas’ bagi jalinan komunikasi politik yang sehat antara Megawati dengan Jokowi. Bukan malah menjadi api yang kian hari kian membara dan membesar, hingga merusak dan menghancurkan jembatan komunikasi politik dua tokoh nasional yang sejatinya berada dalam satu lingkaran partai politik berlogo kepala banteng tersebut.
Semoga Ganjar sadar akan hal itu. Bukan malah ‘menikam’ sang sahabat secara membabi buta yang juga telah ia akui sebagai mentor politiknya. Sebuah perilaku yang kurang pantas dan mengkhawatirkan, karena sangat mungkin, Ganjar akan berbuat serupa pada siapa pun, kelak.